PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Al-Hadits
merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an, karena ia mempunyai
peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh
karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits mempunyai
tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi. Sebuah hadits
belum dapat ditentukan apakah boleh diterima (maqbul) secara baik atau
ditolak (mardud) sebelum keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil ataukah
munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah
matarantai para perawi yang mengantarkan sebuah matan. Sedangkan matan merupakan
lafadh yang menunjuk pada isi sebuah hadits. Dari segi periwayatannya,
posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sanad sangat menentukan
status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if, atau lainnya. Dengan
demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an dan ke-dlabith-an
setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Diantara kita
terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku
agama bahkan dalam sebagian kitab karya Ulama’ Klasik, yang dinyatakan sebagi
hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk
memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau
jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya
dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks
tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk
pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para
perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber
teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui
apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij
al-hadits).
BAB II
TAKHRIJ
1. Pengertian
Takhrij al-Hadits
Secara bahasa takhrij berarti penyatuan dua hal yang saling bertentangan. maka ada tiga
istilah yang berkaitan erat dengan istilah takhrij, yaitu kata takhrij
(تخريج),
( خَرَجَ ), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Kata takhrij secara
etimologi berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan (خَرَجَ
يَخْرُجُ خُرُوجاً ومَخْرَجاً), yang artinya nampak dari tempatnya, atau
keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Bentuk lain dari kata kharaja : Kharraja,
akhraja dan akhtaraja yang bermakna lawan dari memasukan, yaitu
mengeluarkan. Dikatakan “akhraja al-hadits wa kharajahu” artinya menampakkan
dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Mahmud al-Thahan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid,
menjelaskan bahwa at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah
“berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Selanjutnya
ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط (mengeluarkan dari
sumbernya), التدريب
(melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan dan
menjelaskan duduk persoalan.Selain itu takhrij
juga bisa memiliki arti sama dengan al-istinbath, al-tadrib, dan al-taujih.
Maknanya juga bisa dari makna al-ikhraj yang sama dengan al-ibraz dan
al-idzhar. Adapun secara terminology ilmu hadits takhrij adalah menunjukkan keberadaan suatu hadits di dalam kitab-kitab
yang merupakan sumber utama hadits dengan mencantumkan sanad, kemudian
menjelaskan tingkatan-tingkatanya
ketika dibutuhkan.
Intinya bahwa
takhrij adalah kegiatan mencari sumber asli dari suatu hadits yang belum
diketahui keshahihannya.
2.
Latar Belakang
Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits
Pada awalnya
ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena
pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Selain itu, hubungan
para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan
melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits,
mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits.
Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan
potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk
menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila
dibacakan kepada mereka suatu hadits yang bukan dari kitab hadits, maka dengan
mudah mereka menjelaskan sumber aslinya.
Beberapa abad
kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari
sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang
Syari'ah yang banyak menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu
juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan
ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan
takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan
hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas
hadits sesuai dengan kedudukannya.
3. Beberapa Metode Takhrij al-Hadits
Untuk men-takhrij suatu hadits kita bisa menggunakan macam metode. Secara
global metode-metode sebagai berikut:
a. Takhrij
al-Hadits dengan cara memastikan
terlebih dahulu brawi suatu hadits yang dari kalangan Shahabat. Metode ini bisa
kita gunakan untuk Takhrij al-Hadits
jika terdapat nama shahabat di dalam hadits yang akan menjadi objek
takhrij kita. Kemudian berdasarkan nama shahabat tadi kita bisa lebih mudah
melakukan takhrij dengan tiga kitab yaitu al-Masanid (kitab-kitab sanad
hadist), al-Ma’ajim (kamus-kamus hadits), dan Kutub al-Athraf (kitab-kitab
hadits penggalan).
b. Takhrij al-Hadits
dengan cara mengetahui kata yang pertama dalam matan suatu hadits. Kita bisa
memakai metode ini untuk takhrij al-hadits jika kita telah menemukan kata yang
pertama disebut di dalam suatu hadits. Penggunaan metode ini akan lebih mudah
dengan bantuan kitab-kitab hadits yag memuat hadits-hadits terkenal,
kitab-kitab hadits yang tertulis urut berdasarkan abjad, dan kitab-kitab
pengantar hadits.
c. Takhrij al-Hadits dengan cara mengetahui kalimat
yang jarang terucap di dalam bagian matan suatu hadits. Kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadli al-Hadits al-Nabawi adalah kitab yang bisa kita gunakan
untuk takhrij al-hadits dengan metode ini.
d. Takhrij
al-Hadits dengan cara mengetahui
terlebih dahulu tema suatu hadits. Metode ini merupakan metode yang cukup rumit
dalam takhrij al-hadits. Untuk menerapkanya kita dituntut untuk memiliki olah
rasa batin (dzauq) yang kuat, karena tanpaya kita akan kesulitan menentukan
tema suatu hadits.
e. Takhrij
al-Hadits dengan cara melihat hal-hal
khusus dalam matan dan sanad suatu hadits. Metode ini dapat kta terapkan setelah
kita mendalami sifat-sifat tertentu yang terdapat di dalam matan atau sanad
suatu hadits. Pada tataran selanjutnya kita harus mencari rujukan tentang
sifat-sifat itu di dalam kitab-kitab yang memuatnya pada matan atau sanadnya.
4. Tujuan Dan
ManfaatTakhrij
Secara terminologis, men-takhrij berarti
melakukan dua hal, yaitu :Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu
sendiri dengan rangklaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karyamereka.
Kedua, memberikan penilaian kualitas hadits.
Tujuan pokok men-takhrij hadits adalah : mengetahui sumber asal hadits yang di-takhrij dan juga untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya. Sementara untuk manfaat takhrij adalah :
Tujuan pokok men-takhrij hadits adalah : mengetahui sumber asal hadits yang di-takhrij dan juga untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya. Sementara untuk manfaat takhrij adalah :
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian
serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber
hadits itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan
hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadits.
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap
ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang
menekuni bidang hadits dan ilmu hadits. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan
metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai
kepada suatu hadits di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali
disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadits.
Dengan mengetahui hadits tersebut dari sumber
aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan
untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan
kualitasnya. Dengan demikian Takhrij
hadits bertujuan mengetahui sumber asal hadits yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya
hadits-hadits tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadits-hadits
yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadits yang
berlaku. Sehingga hadits tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun
kualitasnya. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa manfaat dari takhrij
Hadits antara lain sebagai berikut :
1.
Dapat diketahui banyak atau
sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang sedang menjadi topik kajian.
2.
Dapat diketahui status hadits sahih
li dzatih atau sahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairi dan
yang lainnya. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadits mutawatir,
masyhur, aziz, dan gharibnya.
3.
Memperjelas hukum hadits dengan
banyaknya riwayatnya, seperti hadits dha`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat
status hadits tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
4.
Memperjelas perawi yang samar,
karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi
yang sebenarnya secara lengkap.
5.
Dapat menghilangkan kemungkinan
terjadinya percampuran riwayat.
6.
Memperjelas perawi hadits yang
tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
7.
Dapat membatasi nama perawi yang
sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai
kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang
lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
8.
Dapat menjelaskan sebab-sebab
timbulnya hadits melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
9.
Dapat mengungkap kemungkinan
terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.
10.
Memberikan kemudahan bagi orang
yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya
apabila mengetahui bahwa hadits tersebut mardud (ditolak).
11.
Menguatkan keyakinan bahwa
suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti
karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik
dari segi sanad maupun matan.
Manfaat dari ilmu takhrij hadits sangat banyak
sekali sehingga sudah sewajarnya setiap cendekiawan muslim untuk memperhatikan
ilmu ini dan mempelajarinya serta mengembangkannya sehingga akan jelas derajat
suatu hadits.
5.
Sejarah Ilmu
Takhrij
Ulama-ulama
dahulu tidak memetingkan pada kaidah ilmu takhrij karena pengetahuan mereka
pada hadis sangat luas dan hubungan mereka sumber asli sangat akrab dan kuat.
Apabila mereka mau membuktikan kesahihan suatu hadis dengan spontan mereka bisa
mencari dalam Kutub as-sittah bahkan di jilid beberapa terdapat hadis tersebut
sehingga mudahlah bagi mereka mengetahui hadis yang didengar sumber aslinya.
Era di mana
para ulama-ulama menguasai sumber asli hanya beberapa abad. Para ulama selanjutnya
mulai menemui kesulitan untuk mengetahui sumber suatu hadis yang terdapat dalam
Kitab Fiqih Tafsir dan Tarikh maka muncullah segolongan ulama yang mulai
melakukan Takhrij hadis terhadap karya-karya ilmu tersebut dan menjelaskan
kedudukan hadis itu apakah statusnya shohih. Hasan atau doif.
Di antara
kitab-kitab takhrij yang pertama muncul adalah: Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib, Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowam dan kitab
TakhrijAhadits al-Muhazzab oleh Abu Ishak As Syirozi.
Kemudian pada
masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas
hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri
sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu keIslaman lainnya.
Mahmud
at-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat
penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya
bagi yang bergelut dibidang ilmu hadis dengan ilmu ini seseorang bisa memeriksa
hadis ke sumber asalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al – ‘Asqalani,
Ibn Hajar. Tahdzib at-Tahdzib, Juz V, Libanon: Dar al-Kutub
al-ilmiyyah, 1994.
Idris, Study
Hadis, Cet I, Jakarta, Prenada Media Group, 2010
Majid khon,
Abdul, Ulumul Hadis, Cet IV, Jakarta, Amzah, 2010.
Sahrani,
Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar