KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur marilah senantiasa selaku kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, semoga segala apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita dapat menjadikan semua hambanya dapat selalu bersyukur kepada-Nya. Sholawat dan salam kita limpahkan dan sampaikan atas baginda Nabi Allah Muhammad Saw, insya Allah kita akan bersama-sama dengan beliau di yaumul mahsar nanti dimana tidak ada satu pertolongan pun kecuali beliau pertolongan dari Allah SWT dan Rasulnya. Dengan izin Allah SWT, akhirnya kami dapat juga menyelesaikan pembuatan tugas makalah ini. Semoga makalah yang kami buat ini ada manfaatnya bagi ita semua dan jika ada kekurangannya inilah kami dan mohon dimaklumi dengan apa adanya.
A. PENGERTIAN WARIS
Kata
Mawaris secara etimologis adalah kata tunggal mirats artinya warisan. Al-Qur’an
banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.-Naml: 16 “ wa warisa
sulaimanu dawud “ artinya “ dan sulaiman mewarisi dawud “, artinya “ Nabi
sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud as. Serta mewarisi ilmu
pengetahuannya.
Mawaris
juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah.Kata ini berasal dari kata
farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. QS. Al-Baqarah: 237 misalnya
disebutkan “ wa qad faradtum labunna faridah fa nisf ma faradtum “
artinya” padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.
Dengan
demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang
siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli
waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima
oleh mereka.
B. SYARAT DAN RUKUN PEMBAGIAN WARISAN
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan:
1. Al-Muwaris,
yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya, al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal
secara hakiki , secara yuridis atau secara taqdiri berdasarkan perkiraan.
a.
Mati hakiki,
yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian,
bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b.
Mati hukmi,
adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan
hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
c.
Mati taqdiri,
yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2. Al-Waris
atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat
memerdekakan hamba sahaya.syaratnya pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli
waris benar-benar dalam keadaan hidup.
Ada
syarat lain yang harus dipenuhi, yakni bahwa di antara al-muwarris dan al-waris
tidak ada halangan untuk saling mewarisi (mawani al-irs).
3. Al-Maurus
atau al-miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
C. HALANGAN UNTUK MENERIMA WARISAN
Halangan untuk menerima warisan atau
disebut dengan mawani’al-irs, adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli
waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muiwarris.Hal-hal yang
disepakati para ulama ada 3 yaitu 1. Pembunuhan (al-qatl ), 2. Berlainan agama
( ikhtilaf al-din ), 3. Perbudakan ( al-abd ), dan yang tidak disepakati ada 1
yaitu Berlainan Agama.
1. Pembunuhan
Pembunuhan
yang dilakukan ahli waris terhadap al-muwarris, menyebabkannya tidak dapat mewarisi
harta peninggalan orang yang diwarisi. Adapun dasar hukum yang melarang ahli
waris yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda
rasulullah Saw bersabda :
a. Riwayat
ahmad dari ibn abbas
“barang
siapa membunuh seorang korban, maka sesunguhnya ia tidak dapat mewarisinya,
walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri.
(begitu
juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima warisan”.
b. Riwayat
al-Nasa’i
“
Rasulullah SAW, bersabda: “ Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk
mewarisi “
Sementara
pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:
a) Pembunuhan
karena khilaf
b) Pembunuhan
yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hokum
c) Pembunuhan
yang dilakukan karena hak atau tugas, seperti algojo yang melaksanakan tugas
hukuman qishas
d) Pembunuhan
karena uzur untuk membela diri
2. Berlainan
agama
Berlainan
agama yang mernjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan
al-muwarris, salah satunya beragama islam, yang lain bukan islam. Misalnya,
ahli waris beragama islam, muwarrisnya beragama kristen, atau sebaliknya.
Riwayat
al-Bukhari dan Muslim :
“orang
islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta
orang islam”. ( muttafaq alaih ).
3. Perbudakan
( al-abd )
Perbudakan
menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaanya, tetapi
semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas
ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia
dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah SWT:
“Allah
telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun”. ( QS. Al-Nahl : 75 )
4. Berlainan
Agama
Pengertian
negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan
bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri
dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing.
Adapun
berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila diantara ahli
waris dan muwarrisnya berdomisili dua negara yang berbeda kriterianya seperti
tersebut diatas. Imam Abu Hanifah dan sebagian mazhab Hanabilah menyatakan
bahwa antara mereka yang berlainan negara dan sama-sama non muslim terhalang
untuk saling mewarisi.
D. SEBAB-SEBAB UNTUK MENERIMA WARISAN
Di
bawah ini akan diuraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-sebab untuk
saling mewarisi.
1.
Hubungan
Kekerabatan (al-qarabah)
2.
Hubungan perkawinan
atau semenda ( al-musaharah )
3.
Hubungan karena
sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala), atau karena perjanjian
tolong menolong, namun terakhir ini kurang masyhur.
E. HAK-HAK YANG WAJIB DITUNAIKAN SEBELUM WARISAN DIBAGI
KEPADA AHLI WARIS
1. Biaya
perawatan jenazah ( tajhiz al-janazab )
Adapun dasar
hukum biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan secara wajar adalah firman
Allah SWT :
Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.
Termasuk
dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang dikeluarkan semasa
muwarris sakit menjelang kematiannya.
a. Pelunasan
utang (wafa al-duyun)
Dasar hukum
tentang wajibnya pelunasan utang si mati didahulukan, dijelaskan dalam firman
Allah SWT :
“Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan
atau (dan) sesudah dibayar utang-utangnya”
(
QS. An-Nisa ; 11 )
Dengan
demikian, didahulukannya kata “wasiyyat” dari pada kata “dain” adalah untuk
memberi motivasi agar orang yang akan meninggal dunia hendaknya melakukan
wasiat atas sebagian hartanya.
b. Pelaksanaan
Wasiat
Imam Abu Dawud
dan para Ulama salaf juga berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Argumentasi
yang mereka kemukakan adalah pesan ayat 180 surat al-Baqarah sebagai berikut :
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah:180)
Ma'ruf
ialah adil dan baik.wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta
orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
2. Pewaris,
Ahli waris, dan warisan.
Pada dasarnya
pewarisan adalah proses perpindahannya harata peningalan dari seseorang yanng
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses pemindahan tersebut
tidak terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata
barat ada tiga unsur warisan, yakni:
a) Orang
yang meninggalkan harta warisa; Erflater
b) Harta
warisan disebut; Erfenis
c) Ahli
waris; Erfegnaam
Yang
menerima ahli waris yaitu suami, istri, anak ataupun orang lain yang ditunjuk.
Orang-orang
yang tidak dapat menerima waris ialah:
a) Seorang
perempuan yang bersuami
b) Seorang
anak yang belum dewasa. Dalam hal ini harus memperhatikan pasal 330 KUH
Perdata, yakni:
“belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak dahulu telah kawin”.
Ashobah
adaalah keluarga laki-laaki yang dekat dari pihak ayah.
F. Bagian Warisan Cucu yang Orang Tuanya Sudah
Meninggal Lebih Dahulu
Cucu
adalah mawali dari anak pewaris. Cucu adalah keturunan, baik laki-laki maupun
perempuan, melalui anak laki-laki saja dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah melalui keturunan laki-laki saja.
Allah
SWT berfirman dalam surat An-Nisa 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآَتُوهُمْ
نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَعَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan kerabatnya, Kami jadikan mawali.
Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah pada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
mawali
adalah ahli waris pengganti
Cucu
(baik laki-laki maupun perempuan) melalui anak perempuan tergolong dzul
arham:
a) dapat
tampil mewaris apabila tidak ada dzul faraid karena hubungan darah dan asabah.
b) dapat
tampil mewaris bersama ahli waris dzul faraid karena hubungan semenda
(janda atau duda)
dalam
Hadis Zaid bin Tsabit:
Cucu-cucu
pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si mati tidak
meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu) seperti kelaki-lakian
anak-anak mereka, dan keperempuanan mereka (cucu-cucu) seperti keperempuan
anak-anak, yakni mereka mewarisi sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan
dapat menghijab sebagaimana halnya anak-anak menghijab dan cucu-cucu pancar
laki-laki tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Oleh karena itu
bila seorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki pancar
laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk cucu laki-laki
mendapat sisanya.
a.
Ahli Waris Penganti
Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang
menggantikan posisi orang tuanya yang terlebih dahulu meninggal dari pada
pewaris. Ketentuan tentang ahli waris pengganti terdapat pada pasal 185 ayat
(1) DAN (2) Buku II KHI yaitu :
1. Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2. Bagian bagi ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yangsederajat dengan yang
diganti.
Berdasarkan pasal tersebut maka cucu berhak
memperoleh bagian warisan yang ditinggalkan kakek/neneknya apabila orang tua
cucu tersebut lebih dahulu atau bersama
sama meninggal dunia dengan kakek/neneknya, dengan perolehan sebesar bagian
yang di dapatkan orang tuanya jika masih hidup.
Menurut Prof. Drs. H.M. Asywadie Syukur, Lc, ketentuan tentang
ahli waris pengganti
tersebut sudah tepat menggunakan sistem penggantian, bukan sistem wasia
wajibah seperti yan diberlakukan di Mesir dan beberapa negara timur tengah
lainnya, Ini karena wasiat hanya untuk orang-orang yang tidak tergolong ahli
waris, sedangkan cucu merupakan ahli waris. Hadits Rasulullah menyatakan
la washiyyata liwaritsin
,
tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
Di samping itu, lanjutnya, ijtihad tentang ahli
waris pengganti tersebut didasarkan pada hasil pemikiran Hazairin dalam menafsirkan ayat
QS. An Nisa ayat 33;
“Bagi tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya
(mawali).
Sementara, KH. Abdurrahaman, KH. Noval, dan Drs. Mahlan Umar, SH,
MH mereka sepakat bahwa istilah waris pengganti tidak dikenal dalam kajian fiqh
klasik.Walaupun demikian ini bukan berarti fiqh tidak ada solusi untuk kasus di
atas.
Dengan menggunakan wasiat wajibah menurut mereka
lebih tepat seperti yang dilakukan oleh Mesir yang mendasarkan pada pendapat
Ibnu Hazm/Dhahiriyah yang
menyatakanbahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seorang wajib memberiwasiat.
Perbedaan di atas, pada gilirannya akan membawa konsekuensi
terhadap batas maksimal harta warisan yang bisa diperoleh cucu. Bila
menggunakan instrumen wasiat maka yang didapat cucu tidak boleh lebih dari 1/3
harta. Sedangkan melalui system waris pengganti cucu bisa mendapatkan lebih
dari 1/3 harta. Hanya saja KHI membatasi bahwa bagian bagi ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti. Terlepas dari perbedaan pandangan ulama terhadap konsep waris
pengganti tetapi dalam kenyataan di Pengadilan Agama pada semua wilayah obyek
penelitian, praktik waris pengganti telah berjalan secara efektif.
Sementara itu, pada praktik pembagian warisan di
masyarakat ada masyarakatyang telah menerapkan konsep waris pengganti dengan menggunakan
istilah dan caralain. Di Gorontalo, misalnya dikenal dengan mala’a milate
(anak mayit), yaitu cucu yang orang
tuanya terlebih dahulu meninggal. Cucu ini mendapatkan bagian dari harta
peninggalan/warisan.
Hal yang sama terjadi di Banjarmasin, adat
banjar memang tidak mengenal istilah ahli waris pengganti, akan
tetapi dalam proses pembagian harta peninggalan, cucu yang
ter-halang karena bapak/ibunya terlebih dahulu
meninggal tetap saja diberikan dalam bentuk hibah atau wasiat. Sedangkan
dalam praktik di PA atau PTA, sistem ahli waris pengganti/penggantian
tempat sudah berlaku, dan selama ini tidak pernah ada
keberatan dari para ulama’, kecuali pada saat awal sosialisasi KHI. Itu
pun terjadi karena belum
adanya pemahaman yang cukup dikalangan ulama. Kalau ada yang mengusulkan agar
meng-gunakan sistem wasiat wajibah seperti di Mesir bagi para hakim PA/PTA
tidak jadi
persoalan. Hanya yang mereka inginkan agar siapa saja yang
berhak menjadi ahli waris peng-ganti perlu diperjelas dalam
undang-undang. Pengaturan tentang “waris pengganti” atau cucu yang terhalang
oleh saudara orang tuanya yang masih hidup ini pun telah diatur di
negara-negara Islam lainnya. Seperti Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah
yang diikuti oleh Sudan, Suriah,Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi.
Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisiamemasukkan
cucu atau cucu-cucu dalam kasus tersebut dengan wasiat wajibah dengan
beberapa variasi. Sedangkan Pakistan
dan Indonesia memakai konsep ahli waris pengganti.
Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 di atasi adalah bahwa isi pasal
tersebut tidak bersifat imperative (selalu digantikan ) oleh anaknya.
Tetapi pasal ini bersifat tentative atau alternatif. Hal mana
diserahkan kepada pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus.
Hal ini bisa dilihat dari kata dapat
dalam pasal tersebut. Sifat alternative atau tidak imperative
dalam pasal 185 sudah tepat, sebabtujuan dimasukkannya ahli waris pengganti
dalam KHI karena melihat pada kenyataandalam beberapa kasus, kasihan terhadap
cucu atau cucu-cucu pewaris.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris pengganti
tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti, bahwa pengganti ahli waris
sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat waris karena keadaan atau pertimbangan
tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap sebagai ahli waris yang
kini menjadi pengganti ahli waris, tentu tidak diperlukan pembahasan
khusus seperti yang disebutkan.
dalam ayat (2). Adanya
ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya tidak
akan terlalu dirugikan.
Cucu
laki-laki
Yang
dimaksud cucu laki-laki disini adalah anak laki-laki bagi anak laki-laki.
Garis
hukum cucu laki-laki:
a) Cucu
laki-laki melalui anak laki-laki menempati tempat anak laki-laki, bila tidak
ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan.
b) Cucu
laki-laki melalui anak laki-laki yang menempati tempat anak laki-laki, bila
tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan itu, mewaris dan
menghijab sama seperti anak laki-laki
c) Cucu
laki-laki melalui anak laki-laki tidak mewaris bila ada anak laki-laki
Adapun
bagiannya sebagai berikut:
a) Menjadi
’ashobah apabila si mati tidak meninggalkan ahli waris kecuali hanya cucu
laki-laki sendirian. Dalam hal ini cucu laki-laki mendapatkan seluruh harta
warisan. Jika yang ditinggalkan cucu laki-laki lebih dari seorang, maka harta
warisan itu dibagi rata sebagai ashobah.
b) Berbagi
dua banding satu, yakni: dua bagian untuk cucu laki-laki dan satu bagian untuk
cucu perempuan dengan syarat si mati hanya meninggalkan cucu laki-laki dan cucu
perempuan dua orang atau lebih.
c) Memperoleh
sisa apabila si mati meninggalkan : ibu, suami(isteri), ayah, anak perempuan,
dan cucu laki-laki. Dalam komposisi seperti ini terlebih dahulu dikeluarrkan
bagian ibu, ayah, suami atau istri, kemudian selebihnya dibagikan kepada cucu laki-laki
sesuai dengan ketentuan butir a dan b sebagai ashobah.
Apa
bila si mati tidak meninggalkan anak laki-laki, padahal ada cucu laki-laki maka
ahli waris lain yang dapat memperoleh harta warisan disamping cucu laki-laki
ialah: ibu, ayah, datuk, nenek, suami atau istri, anak perempuan, cucu
perempuan. Ahli waris lain selain mereka menjadi terhalang. Apabila di antara
ahli waris ada anak laki-laki maka cucu laki-laki tidak mendapat bagian harta
warisan.
Cucu
laki-laki dalam garis patrilineal terus kebawah.
Dalil
naqli:
“Serahkanlah
ahlinya yang berhak, maka bagian-bagian itu kepada lebihnya itu, adalah
laki-laki yang lebih dekat (hubungan kekerabatannya) kepadaa si mati.”
(
HR. Bukhar muslim, dan lainnya).
Berdasarkan
dalil naqli tersebut di atas cucu laki-laki menjadi ‘ashobah, sebab dia adalah
ahli waris yang paling dekat dengan si mati apabila tidak ada anak laki-laki. Keadaan
ini berlaku dalam garis patrilineal terus kebawah yang berarti apabila tidak
ada cucu laki-laki, maka anak laki-laki bagi cucu laki-laki yang mengantikannya
terus ke bawah.
Mereka
tidak memiliki hak warisan dari kakek mereka jika mereka masih memiliki paman.
Karena paman didahulukan (dalam hal warisan dari kakek). Nabi –shollallohu
‘alaihi wa sallam– bersabda:
Maka golongan ‘ashobah didahulukan yang terdekat terlebih
dahulu. Dan jelas bahwa anak lebih dekat dan didahulukan dari pada cucu. Maka
anak dari anak yang meninggal dunia ketika bapaknya masih hidup, tidak mendapat
hak warisan.
Akan tetapi disyariatkan bagi bapak-bapak mereka,
maksudnya kakek mereka, untuk memberi harta wasiat kepada cucu mereka dengan
sesuatu yang bisa bermanfaat bagi mereka dengan syarat tidak lebih dari
sepertiga harta warisan. Jika dia telah memberi wasiat harta untuk mereka,
apalagi jika mereka adalah orang yang membutuhkan, maka ini adalah seutama amal
yang bisa mendekatkan kepada Allah. Dan termasuk
seutama-utamanya ketaatan adalah dia memberi harta wasiat kepada mereka dengan
sesuatu yang bisa membantu dan memberi manfaat bagi mereka, dengan jumlah tidak
lebih dari sepertiga.
Adapun warisan, maka mereka tidak memiliki hak warisan
jika mereka masih memiliki paman, meskipun hanya seorang paman. Karena paman
akan menghijabi dan menghalangi hak mereka dalam warisan.
Jika tidak ada paman maka mereka (cucu) mendapat hak
waris. Jika ada bibi, maka bibi mengambil bagiannya. Satu bibi mendapat bagian
setengah harta warisan. Dua bibi atau lebih mendapat duapertiga warisan.
Sedangkan sisanya untuk para cucu laki-laki dan perempuan. Hal ini jika cucu
itu hanya laki-laki saja atau laki-laki perempuan. Maka yang laki-laki mendapat
dua bagian perempuan. Karena ketika itu mereka menjadi ‘ashobah.
Cucu
perempuan
Cucu
perempuan yaitu anak perempuan bagi anak laki-laki.
Garis
hukum cucu perempuan:
a) Cucu
perempuan melalui anak laki-laki menempati tempat anak perempuan, bila tidak
ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan.
b) Cucu
perempuan melalui anak laki-laki yang menempati tempat anak perempuan, bila
tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan itu, mewaris dan
menghijab sama seperti anak perempuan.
Apabila
simati itu meninggalkan cucu perempuan, maka bagian cucu perempuan tersebut
sebagai berikut:
a) Mendapat
setengah atau separuh dari seluruh harta warisan, apabila si mati meninggalkan hanya
seorang cucu perempuan dan tidak ada cucu laki-laki.
Dalilnya:“Dan apabila
anak perempuan itu hanya seorang, maka ia mendapat setengah”.Apabila si mati
tidak meninggalkan anak perempuan, maka cucu perempuan dipandang seperti anak,
perempuan karena ia mengantikannya.
b) Apabila
si mati tidak meninggalkan anak dan ahli waris yang lain, sedangkan yang ada
hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dua orang atau lebih, maka dalam hal
ini cucu mendapat seluruh harta warisan. Pembagian di antara laki-laki dan perempuan
tetap dua dibanding satu. Maksudnya cucu laki-laki dua bagian dan cucu
perempuan satu bagian.
c) Apabila
hanya adaa cucu perempuan dua orang atau lebih, akan tetapi si mati tidak
meninggalkan anak dan cucu laki-laki, maka cucu perempuan mendapat 2/3 bagian
dan dibagi rata diantara cucu tersebut sesuai dengan ketentuan surat An-Nisa
ayat 11.
d) Apabila
si mati tidak meninggalkan anak akan tetapi ada cucu laki-laki dan perempuan,
disamping itu ada ahli waris lain maka cucu mendapat seluruh sisa harta warisan
setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris lain. Pembagian diantar
cucu laki-laki dan cucu perempuan dilaksanakan sesuai dengan surat An-Nisa ayat
11.
e) Dalam
ketentuan nash yakni:
قال
عبدالله بن
“Abdullah
bin Ma’ud berkata: Rasulullah Saw pernah memutuskan (menghukumkan) untuk
seorang anak perempuan setengah (1/2) dan untuk seorang cucu perempuan
seperenam (1/6) untuk mencukupkan 2/3 (dua pertiga), dan selebihnya untuk
saudaraa perempuan (jama’ah kecuali Muslim dan Tirmidzi)
Dalam
ayat disebutkan:
“apabila
anak-anak perempuan (ahli waris) tersebut dua orang atau lebih, maka mereka
mendapat 2/3 (dua perrtiga) bagian dari harta yang ditinggalkan oleh si mati.”
(QS.
An-nisa’ :11).
Berdasarkan
dalil naqli diatas jelaslah bahwa apabila si mati tidak meninggalkan anak
laki-laki atau cucu laki-laki, sedangkan yang ada hanya seorang anak perempuan
dan seorang cucu perempuan atau lebih maka:
a) Anak
perempuan mendapat separoh (1/2)
b) Cucu
perempuan seoarang atau lebih mendapat seperenam (1/6)
Dalam
sebuah hadist shahih:
“Nabi
SAW telah memeberikan seperenam untuk seorang anak perempuan dari anak
laki-laki yang beserta seorang anak perempuan” (HR. Bukhari)
Adapun cucu perempuan, dalam keadaan mereka hanya
perempuan, tidak ada cucu laki-laki, maka mereka tidak mendapat warisan jika
ada dua anak perempuan atau lebih. Karena bagian dua pertiga itu telah habis sehingga tidak tersisa lagi buat
cucu-cucu perempuan.
Adapun jika anak yang ada hanya satu anak perempuan saja,
yakni satu anak perempuan dari kakek mereka. Maka anak perempuan itu mendapat
setengah harta warisan. Dan cucu perempuan jika tidak ada cucu laki-laki,
mendapat seperenam harta sebagai pelengkap duapertiga (bersama bagian anak
perempuan yang setengah bagian). Dan sisa harta untuk golongan ‘ashobah.
Adapun jika ada cucu laki-laki bersama cucu perempuan,
maka mereka menjadi ‘ashobah dan
mengambil sisa harta warisan bersama saudara mereka atau sepupu mereka yang
laki-laki yang setingkat dengan mereka, lalu bagian cucu laki-laki dua bagian
cucu perempuan, setelah anak perempuan mengambil bagiannya.
Apabila
disatukan/dijumlahkan bagian anak perempuan dan cucu perempuan maka menjadi
2/3. Cucu
perempuan seorang atau lebih bersekutu dalam bagian seperenam, maksudnya jumlah
seperenam itu dibagi rata sesuai jumlah cucu perempuan yang ada.
a) Apabila
cucu perempuan menjadi ahli waris bersama-sama cucu laki-laki maka pembagian
antara keduannya tetap berbanding dua untuk cucu laki-laki dan satu bagian
untuk cucu perempuan.
b) Apabila
cucu perempuan bersama cucu laki-laki, maka dua anak perempuan tidak dapat
menjadi penghalang, kecuali jika cucu perempuan itu hanya sendirian maka ia
terhalang oleh dua anak perempuan. Demikian pula halnya jika ada anak laki-laki
maka cucu perempuan terhalang. Ia (cucu perempuan) yang lebih renggan
kekerabatannya dengan si mati terhalang oleh cucu laki-laki yang lebih dekat.
Dengan adanya cucu perempuan sabagai ahli waris, maka saudara seibu baik
laki-laki maupun perempuan menjadi terhalang.
Kata Mawaris secara etimologis adalah kata tunggal mirats
artinya warisan.al-qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti
QS.-Naml: 16 “ wa warisa sulaimanu dawud “ artinya “ dan sulaiman mewarisi
dawud “, artinya “ Nabi sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud
as. Serta
mewarisi ilmu pengetahuannya.Dalam QS. Al-Zumar: 74 “wa aurasana al-ardla “
yang artinya “ dan telah memberi kepada kami tempat ini “. Dalam QS. Maryam: 6
“ yarisuni wa yarisu min ali Ya’qub artinya “ yang akan mewarisi aku dan mewarisi
sebagian keluarga Ya’qub”. Cucu adalah mawali dari anak pewaris
Cucu
adalah setiap keturunan baik laki-laki maupun perempuan baik dari anak
laki-laki maupun anak perempuan pewaris Dan yang dimaksud cucu laki-laki disini
adalah anak laki-laki bagi anak laki-laki, dan cucu perempuan adalah anak
perempuan bagi anak laki-laki. pembagian dan dasar hukum dalam mewarisi cucu
terdapat didalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11 dan terdapat dalam hadist-hadist lainnya.
dalam surat An-Nisa 33 “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan
kerabatnya, Kami jadikan mawali. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah pada mereka bagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
DAFTAR
PUSTAKA
Rafiq Ahmad,MA. Fiqh
Mawaris. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet.4, 2001
Sudarsono, S.H. Hukum waris dan sistem bilateral. PT
Rineka Cipta. Jakarta. Cet.2, 1994
Rasjid Sulaiman. H.
Fiqh Islam. Sinar Baru Algensindo. BandungCet.
27, 1994.
https://albamalanjy.wordpress.com/2011/05/09/warisan-kakek-untuk-cucu-yang-telah-mati-orang-tuanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar