MOTIVASI

"ngk oleh sambat" hidup jalani apa adanya terus berusaha, kerja keras dan pantang putus asa.

Cari Blog Ini

Minggu, 12 April 2015

makalah pengertian warisan.


KATA PENGANTAR

            Segala puji serta syukur marilah senantiasa selaku kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, semoga segala apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita dapat menjadikan semua hambanya dapat selalu bersyukur kepada-Nya. Sholawat dan salam kita limpahkan dan sampaikan atas baginda Nabi Allah Muhammad Saw, insya Allah kita akan bersama-sama dengan beliau di yaumul mahsar nanti dimana tidak ada satu pertolongan pun kecuali beliau pertolongan dari Allah SWT dan Rasulnya. Dengan izin Allah SWT, akhirnya kami dapat juga menyelesaikan pembuatan tugas makalah ini. Semoga makalah yang kami buat ini ada manfaatnya bagi ita semua dan jika ada kekurangannya inilah kami dan mohon dimaklumi dengan apa adanya.







A.    PENGERTIAN WARIS
Kata Mawaris secara etimologis adalah kata tunggal mirats artinya warisan. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.-Naml: 16 “ wa warisa sulaimanu dawud “ artinya “ dan sulaiman mewarisi dawud “, artinya “ Nabi sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud as. Serta mewarisi ilmu pengetahuannya.
Mawaris juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah.Kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. QS. Al-Baqarah: 237 misalnya disebutkan “ wa qad faradtum labunna faridah fa nisf ma faradtum “ artinya” padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.
Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.

B.     SYARAT DAN RUKUN PEMBAGIAN WARISAN
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan:
1.      Al-Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal secara hakiki , secara yuridis atau secara taqdiri berdasarkan perkiraan.
a.       Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b.      Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
c.       Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2.      Al-Waris atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya.syaratnya pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup.
Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yakni bahwa di antara al-muwarris dan al-waris tidak ada halangan untuk saling mewarisi (mawani al-irs).
3.      Al-Maurus atau al-miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
                      
C.    HALANGAN UNTUK MENERIMA WARISAN
      Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawani’al-irs, adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muiwarris.Hal-hal yang disepakati para ulama ada 3 yaitu 1. Pembunuhan (al-qatl ), 2. Berlainan agama ( ikhtilaf al-din ), 3. Perbudakan ( al-abd ), dan yang tidak disepakati ada 1 yaitu Berlainan Agama.
1.      Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap al-muwarris, menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisi. Adapun dasar hukum yang melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda rasulullah Saw bersabda :
a.       Riwayat ahmad dari ibn abbas
“barang siapa membunuh seorang korban, maka sesunguhnya ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri.
(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”.
b.      Riwayat al-Nasa’i
“ Rasulullah SAW, bersabda: “ Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi “
Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:
a)      Pembunuhan karena khilaf
b)      Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hokum
c)      Pembunuhan yang dilakukan karena hak atau tugas, seperti algojo yang melaksanakan tugas hukuman qishas
d)     Pembunuhan karena uzur untuk membela diri

2.      Berlainan agama
Berlainan agama yang mernjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarris, salah satunya beragama islam, yang lain bukan islam. Misalnya, ahli waris beragama islam, muwarrisnya beragama kristen, atau sebaliknya.
Riwayat al-Bukhari dan Muslim :
“orang islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam”. ( muttafaq alaih ).
3.      Perbudakan ( al-abd )
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaanya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah SWT:
“Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun”.  ( QS. Al-Nahl : 75 )
4.      Berlainan Agama
Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing.
Adapun berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila diantara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili dua negara yang berbeda kriterianya seperti tersebut diatas. Imam Abu Hanifah dan sebagian mazhab Hanabilah menyatakan bahwa antara mereka yang berlainan negara dan sama-sama non muslim terhalang untuk saling mewarisi.

D.    SEBAB-SEBAB UNTUK MENERIMA WARISAN
Di bawah ini akan diuraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-sebab untuk saling mewarisi.
1.      Hubungan Kekerabatan (al-qarabah)
2.      Hubungan perkawinan atau semenda ( al-musaharah )
3.      Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala), atau karena perjanjian tolong menolong, namun terakhir ini kurang masyhur.

E.     HAK-HAK YANG WAJIB DITUNAIKAN SEBELUM WARISAN DIBAGI KEPADA AHLI WARIS
1.      Biaya perawatan jenazah ( tajhiz al-janazab )
Adapun dasar hukum biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan secara wajar adalah firman Allah SWT :
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Termasuk dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang dikeluarkan semasa muwarris sakit menjelang kematiannya.
a.       Pelunasan utang (wafa al-duyun)
Dasar hukum tentang wajibnya pelunasan utang si mati didahulukan, dijelaskan dalam firman Allah SWT :
 “Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan atau (dan) sesudah dibayar utang-utangnya”
( QS. An-Nisa ; 11 )
Dengan demikian, didahulukannya kata “wasiyyat” dari pada kata “dain” adalah untuk memberi motivasi agar orang yang akan meninggal dunia hendaknya melakukan wasiat atas sebagian hartanya.
b.      Pelaksanaan Wasiat
Imam Abu Dawud dan para Ulama salaf juga berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah pesan ayat 180 surat al-Baqarah sebagai berikut :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:180)
Ma'ruf ialah adil dan baik.wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

2.      Pewaris, Ahli waris, dan warisan.
Pada dasarnya pewarisan adalah proses perpindahannya harata peningalan dari seseorang yanng meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses pemindahan tersebut tidak terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat ada tiga unsur warisan, yakni:
a)      Orang yang meninggalkan harta warisa; Erflater
b)      Harta warisan disebut; Erfenis
c)      Ahli waris; Erfegnaam
Yang menerima ahli waris yaitu suami, istri, anak ataupun orang lain yang ditunjuk.
Orang-orang yang tidak dapat menerima waris ialah:
a)      Seorang perempuan yang bersuami
b)      Seorang anak yang belum dewasa. Dalam hal ini harus memperhatikan pasal 330 KUH Perdata, yakni:
“belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak dahulu telah kawin”.
Ashobah adaalah keluarga laki-laaki yang dekat dari pihak ayah.

F.     Bagian Warisan Cucu yang Orang Tuanya Sudah Meninggal Lebih Dahulu
Cucu adalah mawali dari anak pewaris. Cucu adalah keturunan, baik laki-laki maupun perempuan, melalui anak laki-laki saja dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah melalui keturunan laki-laki saja.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآَتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَعَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا 
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan kerabatnya, Kami jadikan mawali. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah pada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
mawali adalah ahli waris pengganti
Cucu (baik laki-laki maupun perempuan) melalui anak perempuan tergolong dzul arham:
a)      dapat tampil mewaris apabila tidak ada dzul faraid karena hubungan darah dan asabah.
b)      dapat tampil mewaris bersama ahli waris dzul faraid karena hubungan semenda (janda atau duda)
dalam Hadis Zaid bin Tsabit:
Cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si mati tidak meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu) seperti kelaki-lakian anak-anak mereka, dan keperempuanan mereka (cucu-cucu) seperti keperempuan anak-anak, yakni mereka mewarisi sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab sebagaimana halnya anak-anak menghijab dan cucu-cucu pancar laki-laki tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Oleh karena itu bila seorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk cucu laki-laki mendapat sisanya.

a.       Ahli Waris Penganti

Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan posisi orang tuanya yang terlebih dahulu meninggal dari pada pewaris. Ketentuan tentang ahli waris pengganti terdapat pada pasal 185 ayat (1) DAN (2) Buku II KHI yaitu :

1.      Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2.      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yangsederajat dengan yang diganti.

Berdasarkan pasal tersebut maka cucu berhak memperoleh bagian warisan yang ditinggalkan kakek/neneknya apabila orang tua cucu tersebut lebih dahulu atau bersama sama meninggal dunia dengan kakek/neneknya, dengan perolehan sebesar bagian yang di dapatkan orang tuanya jika masih hidup.
Menurut Prof. Drs. H.M. Asywadie Syukur, Lc, ketentuan tentang ahli waris  pengganti tersebut sudah tepat menggunakan sistem penggantian, bukan sistem wasia wajibah seperti yan diberlakukan di Mesir dan beberapa negara timur tengah lainnya, Ini karena wasiat hanya untuk orang-orang yang tidak tergolong ahli waris, sedangkan cucu merupakan ahli waris. Hadits Rasulullah menyatakan
la washiyyata liwaritsin
,
tidak ada wasiat untuk ahli waris”.

Di samping itu, lanjutnya, ijtihad tentang ahli waris pengganti  tersebut  didasarkan  pada  hasil pemikiran Hazairin dalam menafsirkan ayat QS. An Nisa ayat 33;
“Bagi tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya (mawali).
Sementara, KH. Abdurrahaman, KH. Noval, dan Drs. Mahlan Umar, SH, MH mereka sepakat bahwa istilah waris pengganti tidak dikenal dalam kajian fiqh klasik.Walaupun demikian ini bukan berarti fiqh tidak ada solusi untuk kasus di atas.
Dengan menggunakan wasiat wajibah menurut mereka lebih tepat seperti yang dilakukan oleh Mesir yang mendasarkan pada pendapat Ibnu Hazm/Dhahiriyah yang menyatakanbahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seorang wajib memberiwasiat. Perbedaan di atas, pada gilirannya akan membawa konsekuensi terhadap batas maksimal harta warisan yang bisa diperoleh cucu. Bila menggunakan instrumen wasiat maka yang didapat cucu tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Sedangkan melalui system waris pengganti cucu bisa mendapatkan lebih dari 1/3 harta. Hanya saja KHI membatasi bahwa bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Terlepas dari perbedaan pandangan ulama terhadap konsep waris pengganti tetapi dalam kenyataan di Pengadilan Agama pada semua wilayah obyek penelitian,  praktik waris pengganti telah berjalan secara efektif.
Sementara itu, pada praktik pembagian warisan di masyarakat ada masyarakatyang telah menerapkan konsep waris pengganti dengan menggunakan istilah dan caralain. Di Gorontalo, misalnya dikenal dengan mala’a milate (anak mayit), yaitu cucu yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal. Cucu ini mendapatkan bagian dari harta peninggalan/warisan. 
Hal yang sama terjadi di Banjarmasin, adat banjar memang tidak mengenal istilah ahli waris pengganti, akan tetapi dalam proses pembagian harta peninggalan, cucu yang ter-halang karena bapak/ibunya terlebih dahulu meninggal tetap saja diberikan dalam bentuk hibah atau wasiat. Sedangkan dalam praktik di PA atau PTA, sistem ahli waris pengganti/penggantian tempat sudah berlaku, dan selama ini tidak pernah ada keberatan dari para ulama’, kecuali pada saat awal sosialisasi KHI. Itu pun  terjadi  karena  belum adanya pemahaman yang cukup dikalangan ulama. Kalau ada yang mengusulkan agar meng-gunakan sistem wasiat wajibah seperti di Mesir bagi para hakim PA/PTA tidak  jadi persoalan. Hanya yang mereka inginkan agar siapa saja yang berhak menjadi ahli waris peng-ganti perlu diperjelas dalam undang-undang. Pengaturan tentang “waris pengganti” atau cucu yang terhalang oleh saudara orang tuanya yang masih hidup ini pun telah diatur di negara-negara Islam lainnya. Seperti Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah yang diikuti oleh Sudan, Suriah,Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi. Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisiamemasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus tersebut dengan wasiat wajibah dengan  beberapa variasi. Sedangkan  Pakistan  dan Indonesia memakai konsep ahli waris pengganti. Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 di atasi adalah bahwa isi pasal tersebut tidak bersifat imperative (selalu digantikan ) oleh anaknya. Tetapi pasal ini bersifat tentative atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa dilihat dari kata dapat dalam pasal tersebut. Sifat alternative atau tidak imperative dalam pasal 185 sudah tepat, sebabtujuan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataandalam beberapa kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris pengganti  tidak  boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan.

dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.
Cucu laki-laki
Yang dimaksud cucu laki-laki disini adalah anak laki-laki bagi anak laki-laki.
Garis hukum cucu laki-laki:
a)      Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menempati tempat anak laki-laki, bila tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan.
b)      Cucu laki-laki melalui anak laki-laki yang menempati tempat anak laki-laki, bila tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan itu, mewaris dan menghijab sama seperti anak laki-laki
c)      Cucu laki-laki melalui anak laki-laki tidak mewaris bila ada anak laki-laki

Adapun bagiannya sebagai berikut:
a)      Menjadi ’ashobah apabila si mati tidak meninggalkan ahli waris kecuali hanya cucu laki-laki sendirian. Dalam hal ini cucu laki-laki mendapatkan seluruh harta warisan. Jika yang ditinggalkan cucu laki-laki lebih dari seorang, maka harta warisan itu dibagi rata sebagai ashobah.
b)      Berbagi dua banding satu, yakni: dua bagian untuk cucu laki-laki dan satu bagian untuk cucu perempuan dengan syarat si mati hanya meninggalkan cucu laki-laki dan cucu perempuan dua orang atau lebih.
c)      Memperoleh sisa apabila si mati meninggalkan : ibu, suami(isteri), ayah, anak perempuan, dan cucu laki-laki. Dalam komposisi seperti ini terlebih dahulu dikeluarrkan bagian ibu, ayah, suami atau istri, kemudian selebihnya dibagikan kepada cucu laki-laki sesuai dengan ketentuan butir a dan b sebagai ashobah.
Apa bila si mati tidak meninggalkan anak laki-laki, padahal ada cucu laki-laki maka ahli waris lain yang dapat memperoleh harta warisan disamping cucu laki-laki ialah: ibu, ayah, datuk, nenek, suami atau istri, anak perempuan, cucu perempuan. Ahli waris lain selain mereka menjadi terhalang. Apabila di antara ahli waris ada anak laki-laki maka cucu laki-laki tidak mendapat bagian harta warisan.

Cucu laki-laki dalam garis patrilineal terus kebawah.
Dalil naqli:
“Serahkanlah ahlinya yang berhak, maka bagian-bagian itu kepada lebihnya itu, adalah laki-laki yang lebih dekat (hubungan kekerabatannya) kepadaa si mati.”
( HR. Bukhar muslim, dan lainnya).
Berdasarkan dalil naqli tersebut di atas cucu laki-laki menjadi ‘ashobah, sebab dia adalah ahli waris yang paling dekat dengan si mati apabila tidak ada anak laki-laki. Keadaan ini berlaku dalam garis patrilineal terus kebawah yang berarti apabila tidak ada cucu laki-laki, maka anak laki-laki bagi cucu laki-laki yang mengantikannya terus ke bawah.
Mereka tidak memiliki hak warisan dari kakek mereka jika mereka masih memiliki paman. Karena paman didahulukan (dalam hal warisan dari kakek). Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
Maka golongan ‘ashobah didahulukan yang terdekat terlebih dahulu. Dan jelas bahwa anak lebih dekat dan didahulukan dari pada cucu. Maka anak dari anak yang meninggal dunia ketika bapaknya masih hidup, tidak mendapat hak warisan.
Akan tetapi disyariatkan bagi bapak-bapak mereka, maksudnya kakek mereka, untuk memberi harta wasiat kepada cucu mereka dengan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi mereka dengan syarat tidak lebih dari sepertiga harta warisan. Jika dia telah memberi wasiat harta untuk mereka, apalagi jika mereka adalah orang yang membutuhkan, maka ini adalah seutama amal yang bisa mendekatkan kepada Allah. Dan termasuk seutama-utamanya ketaatan adalah dia memberi harta wasiat kepada mereka dengan sesuatu yang bisa membantu dan memberi manfaat bagi mereka, dengan jumlah tidak lebih dari sepertiga.
Adapun warisan, maka mereka tidak memiliki hak warisan jika mereka masih memiliki paman, meskipun hanya seorang paman. Karena paman akan menghijabi dan menghalangi hak mereka dalam warisan.
Jika tidak ada paman maka mereka (cucu) mendapat hak waris. Jika ada bibi, maka bibi mengambil bagiannya. Satu bibi mendapat bagian setengah harta warisan. Dua bibi atau lebih mendapat duapertiga warisan. Sedangkan sisanya untuk para cucu laki-laki dan perempuan. Hal ini jika cucu itu hanya laki-laki saja atau laki-laki perempuan. Maka yang laki-laki mendapat dua bagian perempuan. Karena ketika itu mereka menjadi ‘ashobah.
Cucu perempuan
Cucu perempuan yaitu anak perempuan bagi anak laki-laki.
Garis hukum cucu perempuan:
a)      Cucu perempuan melalui anak laki-laki menempati tempat anak perempuan, bila tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan.
b)      Cucu perempuan melalui anak laki-laki yang menempati tempat anak perempuan, bila tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan itu, mewaris dan menghijab sama seperti anak perempuan.
Apabila simati itu meninggalkan cucu perempuan, maka bagian cucu perempuan tersebut sebagai berikut:
a)      Mendapat setengah atau separuh dari seluruh harta warisan, apabila si mati meninggalkan hanya seorang cucu perempuan dan tidak ada cucu laki-laki.
Dalilnya:“Dan apabila anak perempuan itu hanya seorang, maka ia mendapat setengah”.Apabila si mati tidak meninggalkan anak perempuan, maka cucu perempuan dipandang seperti anak, perempuan karena ia mengantikannya.
b)      Apabila si mati tidak meninggalkan anak dan ahli waris yang lain, sedangkan yang ada hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dua orang atau lebih, maka dalam hal ini cucu mendapat seluruh harta warisan. Pembagian di antara laki-laki dan perempuan tetap dua dibanding satu. Maksudnya cucu laki-laki dua bagian dan cucu perempuan satu bagian.
c)      Apabila hanya adaa cucu perempuan dua orang atau lebih, akan tetapi si mati tidak meninggalkan anak dan cucu laki-laki, maka cucu perempuan mendapat 2/3 bagian dan dibagi rata diantara cucu tersebut sesuai dengan ketentuan surat An-Nisa ayat 11.
d)     Apabila si mati tidak meninggalkan anak akan tetapi ada cucu laki-laki dan perempuan, disamping itu ada ahli waris lain maka cucu mendapat seluruh sisa harta warisan setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris lain. Pembagian diantar cucu laki-laki dan cucu perempuan dilaksanakan sesuai dengan surat An-Nisa ayat 11.
e)      Dalam ketentuan nash yakni:
قال عبدالله بن
“Abdullah bin Ma’ud berkata: Rasulullah Saw pernah memutuskan (menghukumkan) untuk seorang anak perempuan setengah (1/2) dan untuk seorang cucu perempuan seperenam (1/6) untuk mencukupkan 2/3 (dua pertiga), dan selebihnya untuk saudaraa perempuan (jama’ah kecuali Muslim dan Tirmidzi)
Dalam ayat disebutkan:
“apabila anak-anak perempuan (ahli waris) tersebut dua orang atau lebih, maka mereka mendapat 2/3 (dua perrtiga) bagian dari harta yang ditinggalkan oleh si mati.”
(QS. An-nisa’ :11).
Berdasarkan dalil naqli diatas jelaslah bahwa apabila si mati tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki, sedangkan yang ada hanya seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan atau lebih maka:
a)      Anak perempuan mendapat separoh (1/2)
b)      Cucu perempuan seoarang atau lebih mendapat seperenam (1/6)

Dalam sebuah hadist shahih:
“Nabi SAW telah memeberikan seperenam untuk seorang anak perempuan dari anak laki-laki yang beserta seorang anak perempuan” (HR. Bukhari)
Adapun cucu perempuan, dalam keadaan mereka hanya perempuan, tidak ada cucu laki-laki, maka mereka tidak mendapat warisan jika ada dua anak perempuan atau lebih. Karena bagian dua pertiga itu telah habis sehingga tidak tersisa lagi buat cucu-cucu perempuan.
Adapun jika anak yang ada hanya satu anak perempuan saja, yakni satu anak perempuan dari kakek mereka. Maka anak perempuan itu mendapat setengah harta warisan. Dan cucu perempuan jika tidak ada cucu laki-laki, mendapat seperenam harta sebagai pelengkap duapertiga (bersama bagian anak perempuan yang setengah bagian). Dan sisa harta untuk golongan ‘ashobah.
Adapun jika ada cucu laki-laki bersama cucu perempuan, maka mereka menjadi ‘ashobah dan mengambil sisa harta warisan bersama saudara mereka atau sepupu mereka yang laki-laki yang setingkat dengan mereka, lalu bagian cucu laki-laki dua bagian cucu perempuan, setelah anak perempuan mengambil bagiannya.
Apabila disatukan/dijumlahkan bagian anak perempuan dan cucu perempuan maka menjadi 2/3. Cucu perempuan seorang atau lebih bersekutu dalam bagian seperenam, maksudnya jumlah seperenam itu dibagi rata sesuai jumlah cucu perempuan yang ada.
a)      Apabila cucu perempuan menjadi ahli waris bersama-sama cucu laki-laki maka pembagian antara keduannya tetap berbanding dua untuk cucu laki-laki dan satu bagian untuk cucu perempuan.
b)      Apabila cucu perempuan bersama cucu laki-laki, maka dua anak perempuan tidak dapat menjadi penghalang, kecuali jika cucu perempuan itu hanya sendirian maka ia terhalang oleh dua anak perempuan. Demikian pula halnya jika ada anak laki-laki maka cucu perempuan terhalang. Ia (cucu perempuan) yang lebih renggan kekerabatannya dengan si mati terhalang oleh cucu laki-laki yang lebih dekat. Dengan adanya cucu perempuan sabagai ahli waris, maka saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan menjadi terhalang.















KESIMPULAN
Kata Mawaris secara etimologis adalah kata tunggal mirats artinya warisan.al-qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.-Naml: 16 “ wa warisa sulaimanu dawud “ artinya “ dan sulaiman mewarisi dawud “, artinya “ Nabi sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud as. Serta mewarisi ilmu pengetahuannya.Dalam QS. Al-Zumar: 74 “wa aurasana al-ardla “ yang artinya “ dan telah memberi kepada kami tempat ini “. Dalam QS. Maryam: 6 “ yarisuni wa yarisu min ali Ya’qub artinya “ yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub”. Cucu adalah mawali dari anak pewaris
Cucu adalah setiap keturunan baik laki-laki maupun perempuan baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan pewaris Dan yang dimaksud cucu laki-laki disini adalah anak laki-laki bagi anak laki-laki, dan cucu perempuan adalah anak perempuan bagi anak laki-laki. pembagian dan dasar hukum dalam mewarisi cucu terdapat didalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11  dan terdapat dalam hadist-hadist lainnya. dalam surat An-Nisa 33 “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan kerabatnya, Kami jadikan mawali. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah pada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”















DAFTAR PUSTAKA

Rafiq Ahmad,MA. Fiqh Mawaris. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet.4, 2001
Sudarsono, S.H. Hukum waris dan sistem bilateral. PT Rineka Cipta. Jakarta. Cet.2, 1994
Rasjid Sulaiman. H. Fiqh Islam. Sinar Baru Algensindo. BandungCet. 27, 1994.
https://albamalanjy.wordpress.com/2011/05/09/warisan-kakek-untuk-cucu-yang-telah-mati-orang-tuanya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar